Tuesday, March 19, 2013

Al-Baqarah ayat 153


Al-Baqarah ayat 153

SURAT AL-BAQARAH (2) Ayat 153

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
[Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar].
[O you who believe! seek assistance through patience and prayer; surely Allah is with the patient].

1). Ayat yang mirip dengan ini sudah pernah muncul sebelumnya di ayat 45. Kedua ayat ini (45 dan 153) sama pada anak kalimat: اسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ [ista’ĭnŭ bis-shabri was-shalāh, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (dengan mengerjakan) shalat]. Dan agaknya itulah inti dari kedua ayat ini. Bedanya, satu, di ayat 153 ini diawali dengan panggilan atau seruan: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ (yā ayyuɦal-ladzĭna āmanŭ, Hai orang-orang yang beriman). Berarti, jelas, ayat ini ditujukan secara spesifik kepada orang-orang Islam, orang-orang yang sudah beriman kepada kenabian dan kerasulan Muhammad saw yang barusan (ayat 142-152) diperintahkan memindahkan kiblatnya dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram. Sementara di ayat 45 tidak didahului dengan panggilan khsusus seperti itu. Dan memang kita lihat bahwa ayat itu berada pada latar cerita Bani Israil yang diminta oleh Allah “untuk mengingat nikmat (kenabian) yang begitu banyak diberikan kepada mereka (40), beriman kepada al-Qur’an yang merupakan penyempurna terhadap kitab-kitab sebelumnya (41), untuk tidak menyembunyikan kebenaran (42), untuk menegakkan shalat dan menunaikan zakat (43), dan agar tidak melupakan diri sendiri saat mengajak orang lain melakukan kebaikan (44)”. Untuk itu semuanya, perlu ber-isti’ānah (meminta pertolongan) kepada Allah dengan menggunakan sabar dan salat sebagai modalnya. Untuk orang beriman (pengikut Nabi Muhammad saw), Allah perintahkan untuk ber- isti’ānah setelah memberikan kepada mereka tiga hal: Imamah, Baitullah, dan Rasulullah saw. Dan tujuannya sama. Baik kepada Bani Israil (pada zamannya) atau kepada umat Islam, diperintah ber-isti’ānah  agar menjadi pewaris kekuasaan Allah di bumi ini. “Musa berkata kepada kaumnya: ‘Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; (maka) akan dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa’.” (7:128)

2). Dua, ayat  45 ditutup dengan kalimat: وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ (wa innaɦā lakabĭratun illa ‘alal khāsyi’ĭn, dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’). Sedang di ayat 153 ini, Allah menutupnya dengan sebuah pernyataan tegas sekaligus menjanjikan: إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ (innallāɦa ma’as-shābirĭn, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar). Coba perhatikan dengan saksama. Buntut ayat 45 menjelaskan “salat”-nya, sedangkan di ayat 153 menjelaskan “sabar”-nya. Salat adalah kendaraan spiritual untuk sampai kepada-Nya dan meleburkan ego kita ke dalam Ego-Nya. Sementara sabar adalah kendaraan spiritual untuk menyeruak masuk ke tengah-tengah masyarakat, menyatukan kepentingan kita dengan kepentingan orang lain, berjuang bersamanya, hidup dan mati dengannya. Sabar inilah yang menyebabkan seorang Muslim tidak menjadikan salatnya sebagai menara gading spiritual belaka, sebagai pelarian dari tanggung jawab sosial dan politiknya. Sabar inilah yang membuat seorang ahli salat memandang syahadah (mati memperjuangkan kebenaran) sebagai bentuk kematian yang paling mulia seraya menjadikannya sebagai cita-cita hidupnya. Itu makanya, Allah menyebut Diri-Nya sebagai “bersama orang-orang sabar”. Itu juga makanya, Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib ra—cucu Nabi yang amat dicintainya, melalui putri yang juga amat dicintainya, Fathimah Zahra—berteriak lantang kepada musuh-musuh Islam yang mengepungnya di Padang Karbala:    ان كان دىن محمد لم يستقيم الا بقتلي فيا سيوف خذيني [in kāna dĭnu muhammadin lam yastaqĭm illa biqatlĭ fayā suyŭfi khudzĭnĭ, jika agama (kakekku) Muhammad tidak akan berdiri tegak kecuali dengan terbunuhnya aku maka wahai pedang-pedang (musuh Allah) ambillah aku].

3). Dengan demikian seruan Allah, اسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ [ista’ĭnŭ bis-shabri was-shalāh, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (dengan mengerjakan) shalat] selalu dalam ranah memperjuangkan agama Allah sebagai ideologi semesta, demi lahirnya sistem politik yang ber-‘triaspolitika’: Imamah, Baitullah, dan Rasulullah; demi tegaknya Pemerintahan Ilahi di muka bumi, demi terwujudnya ‘cita-cita’ Allah saat memperkenalkan konsep kekhalifahan kepada malaikat (ayat 30), dan agar tidak melakukan pengkhianatan seperti Bani Israil (ayat 40 sampai 123). Seruan ini penting sebab musuh-musuh Allah, penjahat-penjahat kemanusiaan, pemerintahan imperialis, selalu menggunakan cara apa saja untuk mencapai tujuan busuk mereka, mulai dari kekerasan, isolasi dan sangsi, pemutarbalikan opini, hipokritisme, hingga (berpura-pura) menjadi sahabat yang menolong. Agar tidak terperangkap ke dalam seribu-satu jebakan mereka dibutuhkan “sabar dan salat”. Makanya, disebut “sabar” apabila dalam rangka “berjuang”. Jika tidak, bukan “sabar” tapi “malas” atau “cuek”—camkan ini baik-baik!!! “Maka bersabarlah kamu sebagaimana rasul-rasul ulul azmi telah bersabar (menghadapi musuh-musuhnya) dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka (musuh-musuh kamu tersebut). (Karena) pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepadanya, mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat di siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik.” (46:35)

4). Tentang kebersamaan Allah dengan orang sabar, muncul 4 (empat kali) dalam al-Qur’an (2:153, 2:249, 8:46, 8:66). Bahkan Allah membuat pernyataan umum yang mengikat semua sifat sabar: “Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.” (16:127) Ini menunjukkan betapa besar perhatian dan penghargaan Allah kepada orang sabar. Dan dengan begitu, sabar tidak lagi sekadar sebagai konsep psikologi, tapi sekaligus menjadi konsep teologi. Artinya, bukanlah “sabar” manakala hanya berhenti sebagai sebuah sikap tenang dan rasional dalam menghadapi suatu masalah. Disebut “sabar” apabila di balik sikap tenang dan rasional itu ada perasaan tawakkal (kebergantungan yang total) kepada Allah Rabbul Ălamĭn. “Mengapa Kami tidak akan bertawakkal kepada Allah padahal Dia telah menunjukkan jalan kepada kami, dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap gangguan-gangguan yang kalian lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakkal itu berserah diri.” (14:12)

5). Hadits Nabi saw:
و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ عَنْ أَبِي النَّضْرِعَنْ كِتَابِ رَجُلٍ مِنْ أَسْلَمَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَالُ لَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أَوْفَى فَكَتَبَ إِلَى عُمَرَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ حِينَ سَارَ إِلَى الْحَرُورِيَّةِ يُخْبِرُهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ فِي بَعْضِ أَيَّامِهِ الَّتِي لَقِيَ فِيهَا الْعَدُوَّ يَنْتَظِرُ حَتَّى إِذَا مَالَتْ الشَّمْسُ قَامَ فِيهِمْ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ لَا تَتَمَنَّوْا لِقَاءَ الْعَدُوِّ وَاسْأَلُوا اللَّهَ الْعَافِيَةَ فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاصْبِرُوا وَاعْلَمُوا أَنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ ظِلَالِ السُّيُوفِ ثُمَّ قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ اللَّهُمَّ مُنْزِلَ الْكِتَابِ وَمُجْرِيَ السَّحَابِ وَهَازِمَ الْأَحْزَابِ اهْزِمْهُمْ وَانْصُرْنَا عَلَيْهِمْ
[Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Rafi' telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij telah mengabarkan kepadaku Musa bin Uqbah dari Abu An Nadlr, bahwa dia pernah menerima sepucuk surat dari suku Aslam yang bernama Abdullah bin Abu Aufa—termasuk salah seorang sahabat Nabi saw—maka dia menulis surat kepada Umar bin Ubaidullah ketika ia berangkat untuk memerangi orang-orang Haruriyah, dan memberitahukan kepadanya bahwa suatu ketika Rasulullah saw pernah bertemu dengan para musuh, lalu beliau menunggu hingga matahari condong ke arah barat. Setelah itu, beliau berdiri di antara para sahabat seraya bersabda: "Wahai manusia (kaum Muslim), janganlah kalian mengharap bertemu dengan musuh, dan mohonlah kesehatan kepada Allah, namun apabila kalian bertemu dengan mereka maka bersabarlah. Ketahuilah oleh kalian semua, bahwa surga berada di bawah naungan pedang." Kemudian Nabi saw berdiri sambil bermunajat: "Ya Allah, dzat yang menurunkan Kitab Suci, dzat yang menggerakkan awan, dzat yang dapat mengalahkan pasukan Ahzab, hancurkanlah mereka semua dan berikanlah kemenangan atas kami."] (Shahih Muslim, no. 3276)


AMALAN PRAKTIS
Kekuatan manusia bukan terletak pada tubuh jasmaniahnya. Kekuatan manusia terletak pada jiwanya. Dan jiwa yang paling kuat ialah jiwa yang mampu tetap bersikap tenang dan rasional seraya bertawakkal kepada Allah pada saat masalah datang susul-menyusul, bahkan mengancam hidupnya. Jiwa yang seperti itulah yang disebut: SABAR. “Sesungguhnya Allah selalu bersama orang-orang yang sabar”.

No comments:

Post a Comment