Sabar bilang :
Sabar ya dit, satu minggu lagi barangnya baru datang.
Sabar ya sayang, masih bisa tunggu aku sampai mapan kan?
Sabar teh dita! kalau udah rejekinya pasti nuturin
Sabar ya dita. Kerja disini sampai semuanya selesai, tunggu!
VS
Ego berbisik :
sampai kapan aku harus sabar?
apa gunanya sabar?
apa dengan sabar aku bisa bahagia?
Seminggu ini kata "Sabar" seolah mengobrak-abrik jiwa saya tak ayal ia
menyelusup hingga ubun-ubun. Saat diri ini menyatakan menyerah,
maka Enough! saya akan bersabar.
Namun di kala saya memutuskan untuk mengikuti kata hati (Sabar,red)
seolah kekuatan muncul dari sisi lain dalam tubuh ini, bisa dikatakan
sebuah Ego yang tak bergeming. Ia selalu menyuarakan fungsinya ketika
saya akan "berpasrah". Lalu terjadilah perselisihan bathin antara
memilih membesarkan Ego atau tetap berdiri pada sabar. Dan situasi
dilematis pun saya alami.
Layaknya seperti dua orang yang berdebat dalam sebuah forum. Ego sebagai
pembicara utama bergaya dengan segala kesombongan dan keangkuhan yang
dimilikinya mencoba menyudutkan Sabar dengan sebuah statement "Hei
Sabar, kamu begitu lembek! Kamu hanya membuat jiwa menjadi rapuh dan
pasrah. Lihat saya! Saya membuat jiwa menjadi bangkit. Dengan berpihak
pada saya maka tidak ada lagi rapuh. Saya tidak perlu bantuan, saya bisa
berdiri sendiri! Lagipula apa untungnya ada dirimu?HAH ".
Secara rasional Sabar pun membalas pernyataan Ego itu dengan penuh
kehati-hatian, "Jika sebuah jiwa mau terus mengikutiku maka akan
membuahkan hasil yang manis. Karena aku mengajarkan keihlasan dan
kerendahan hati untuk sebuah jiwa. Apabila menuruti perintahmu, maka
lama kelamaan jiwa akan hancur kemudian karena sikapmu yang angkuh akan
mudah mencelakakannya."
Percikan kalimat sederhana itu terkadang mengecilkan nyali sebuah Ego.
Yang pada akhirnya Ego berpasrah dan menyatakan bahwa Sabarlah
segalanya.
No comments:
Post a Comment