Sesuatu
yang tidak akan dipungkiri siapa pun adalah kehidupan ini tidak hanya
dalam satu keadaan. Ada senang, ada duka. Ada canda, begitu juga tawa.
Ada sehat, namun juga adakalanya sakit. Dan semua ini adalah sunnatullah yang mesti dihadapi orang manapun.
Di antara hal yang paling menarik
dalam hal ini adalah di mana seorang manusia menghadapi ujian berupa
sakit. Tentu keadaan sakit ini lebih sedikit dan sebentar dibanding
keadaan sehat. Yang perlu diketahui oleh setiap muslim adalah tidaklah
Allah menetapkan (mentaqdirkan) suatu taqdir melainkan di balik taqdir
itu terdapat hikmah, baik diketahui ataupun tidak. Dengan demikian, hati
seorang muslim harus senantiasa ridho dan pasrah kepada ketetapan
Rabb-nya.
Saat seseorang mengalami sakit,
hendaknya ia menyadari bahwa Rasulullah ﷺ yang merupakan manusia
termulia sepanjang sejarah juga pernah mengalaminya.
Bahkan dengan adanya sakit, banyak
orang menyadari kekeliruannya selama ini sehingga sakit itu
mengantarkannya menuju pintu taubat. Justru ketika sakit itu tidak ada,
malah membuat banyak orang sombong dan congkak. Lihatlah Fir’aun yang
tidak pernah Allah timpa ujian sakit sepanjang hidupnya, membuatnya
sombong terlampau batas sampai-sampai berani menyatakan, “Akulah tuhan tertinggi kalian!” (QS. An Nazi’at: 24)
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (para rasul) kepada umat-umat sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan kesengsaraan dan kemelaratan agar mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri.” (QS. Al An’am: 42)
Tidak heran jika ada sebagian orang saat tertimpa musibah malah justru bergembira sebagaimana bergembira ketika mendapat kelapangan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “…dan sesungguhnya salah seorang mereka benar-benar merasa gembira karena mendapat cobaan, sebagaimana salah seorang mereka merasa senang karena memperoleh kelapangan.” (HR Ibnu Majah dan Al Hakim, beliau berkata, “Shahih menurut syarat Muslim.” Disepakati oleh Adz Dzahabi)
Hiburan untuk Orang yang Tertimpa Musibah
Agar sakit itu berbuah
kebahagiaan, bukan keluh kesah, hendaknya seorang muslim mengetahui
janji-janji yang Allah berikan, baik dalam Al Quran maupun melalui lisan
Rasul-Nya, Muhammad ﷺ.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah
(Muhammad), ‘Tidak akan menimpa kami kecuali apa yang telah Allah
tetapkan untuk kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah
orang-orang beriman harus bertawakal.’” (QS. At Taubah: 51). Juga firman-Nya, “Tiada
suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu
sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum
Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita
terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu
gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS Al Hadid: 22-23)
Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidaklah seorang muslim yang tertimpa gangguan berupa penyakit atau semacamnya, kecuali Allah akan menggugurkan bersama dengannya dosa-dosanya, sebagaimana pohon yang menggugurkan dedaunannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Bencana senantiasa menimpa
seorang mukmin dan mukminah pada dirinya, anaknya, dan hartanya sampai
ia berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak ada kesalahan pada dirinya.” (HR. At Tirmidzi, dan beliau berkomentar, “Hasan shahih.”, Imam Ahmad, dan lainnya)
“Sesungguhnya besarnya pahala
itu berbanding lurus dengan besarnya ujian. Dan sesungguhnya jika Allah
mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka. Siapa yang ridha, baginya
ridha(Nya), namun siapa yang murka, maka baginya kemurkaan(Nya).” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Masih banyak lagi janji-janji menggiurkan lainnya yang tersebar di dalam Al Quran dan As Sunnah.
Dua Jenis Penyakit
Menurut anggapan mayoritas orang,
yang dianggap penyakit hanyalah penyakit yang menimpa badan secara nyata
seperti demam, batuk, flu, dan seterusnya. Namun tahukah Anda, bahwa
ada penyakit lain yang seharusnya lebih mendapatkan perhatian dan
penanganan? Itulah penyakit hati. Syaikh Muhammad bin Shalih Al
‘Utsaimin rahimahullah mengatakan dalam sebuah pertemuannya dengan para dokter, “Wahai
saudara-saudaraku, penyakit itu ada dua, yaitu penyakit hati, inilah
penyakit maknawi (abstrak), dan yang kedua adalah penyakit jisim, inilah
penyakit hissi (kongkrit). Jenis pertama harus lebih utama diperhatikan
dan ditangani karena ia mengakibatkan kebinasaan abadi.” (Irsyadat lith Thabibil Muslim 05: 34 – 06: 04)
Al ‘Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah
ketika menafsirkan firman Allah, “فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ (di dalam hati
mereka terdapat penyakit)”, berkata, “Yang dimaksud dengan penyakit di
sini adalah penyakit keraguan, syubhat, dan kemunafikan. Karena hati
akan menghadapi dua penyakit yang akan mengeluarkannya dari kesehatan
dan keseimbangannya, yaitu penyakit syubhat yang bathil dan penyakit
syahwat yang membinasakan. Kekufuran, kemunafikan, keraguan, dan
kebid’ahan semuanya termasuk penyakit syubhat. Sedangkan zina, menyukai
kekejian dan kemaksiatan serta melakukannya termasuk penyakit syahwat,
sebagaimana firman Allah, ‘…sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya.”
(QS Al Ahzab: 32) yaitu syahwat zina. Dan orang yang sehat adalah orang
yang terselamatkan dari kedua penyakit ini. Maka jadilah ia memperoleh
keyakinan, keimanan, dan kesabaran dari segala maksiat.” (Taisirul
Karimirrahman)
Maka penyakit hati itu pangkalnya
ada dua, yaitu syubhat dan syahwat. Dari kedua hal inilah bercabang
semua penyakit, dan amat sedikit orang yang mengetahuinya kecuali yang
dirahmati Robb-nya. Ibnu ‘Utsaimin berkata, “…penyakit-penyakit (yang
menyerang) agama yang porosnya adalah syubhat dan syahwat.”
Setiap Penyakit Pasti Ada Obatnya
Hal lain yang seyogyanya diketahui
oleh seorang muslim adalah tidaklah Allah menciptakan suatu penyakit
kecuali Dia juga menciptakan penawarnya. Hal ini sebagaimana yang
disabdakan Rasulullah ﷺ:
مَا أَنْزَلَ اللهُ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً
“Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia juga menurunkan penawarnya.” (HR Bukhari).
Imam Muslim ‘merekam’ sebuah hadits dari Jabir bin ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah ﷺ, bahwasannya beliau bersabda,
لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءُ، فَإِذَا أُصِيْبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ
“Setiap penyakit ada obatnya. Apabila obat itu tepat untuk suatu penyakit, penyakit itu akan sembuh dengan seizin Allah ‘Azza wa Jalla.”
Kesembuhan Itu Hanya Datang dari Allah
Allah berfirman menceritakan kekasih-Nya, Ibrahim ‘alaihissalam,
وَ إِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِيْنِ
“Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku.” [QS Asy Syu’ara: 80]
Di surat Al An’am (ayat: 17), “Dan
jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada
yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan
kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.”
Maka obat dan dokter hanyalah cara
kesembuhan, sedangkan kesembuhan hanya datang dari Allah. Karena Dia
sendiri menyatakan demikian, “Dialah yang menciptakan segala sesuatu.”
Semujarab apapun obat dan sesepesialis dokter itu, namun jika Allah
tidak menghendaki kesembuhan, kesembuhan itu juga tidak akan didapat.
Bahkan jika meyakini bahwa kesembuhan itu datang dari selain-Nya,
berarti ia telah rela keluar dari agama dan neraka sebagai tempat
tinggalnya kelak jika tidak juga bertaubat. Dan fenomena ini kerap
dijumpai di banyak kalangan, entah sadar atau tidak. Seperti ucapan
sebagian orang, “Tolong sembuhkan saya, Dok .” Meski kalimat ini amat
pendek, namun akibatnya sangat fatal, yaitu dapat mengeluarkan
pengucapnya dari Islam. Sepantasnya setiap muslim berhati-hati dalam
setiap gerak-geriknya agar ia tidak menyesal kelak.
Berobat dengan Wahyu
Banyak orang ketika tertimpa sakit
lari kesana-kemari mencari kesembuhan. Setiap orang akan mencari dokter
sepesialis terhebat di negerinya bahkan di seluruh dunia sekalipun demi
mendapatkan kesembuhan. Berapa pun biayanya akan dibayarnya meski harus
berhutang. Celakanya ada sebagaian orang yang masih percaya kepada
dukun si penipu yang malah menjerumuskannya ke dalam lobang kesyirikan
yang mengeluarkan dari agama. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
meriwayatkan dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda:
مَنْ أَتَا عَرَّافًا أَوْ كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barangsiapa yang mendatangi
dukun atau tukang ramal, lantas ia membenarkan perkataannya, maka ia
telah kufur terhadap apa yang diturunkan pada Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam” (HR. Ahmad dalam Al Musnad, Al Hakim dalam Al
Mustadrak –dan ia menilainya shahih dengan syarat Al Bukhari &
Muslim-, dan Al Baihaqi)
Tentu usaha untuk mendapatkan
kesembuhan itu, selama usaha-usaha itu ‘sehat’, sangat diperlukan,
karena ini merupakan bagian dari tawakal. Syaikh Shafiyyurrahma bin
‘Abdullah Al Mubarakfuri rahimahullah berkata ketika menjelaskan hadits:
“Setiap penyakit ada obatnya…” dsb., “Di dalamnya (hadits di
atas) terdapat dorongan untuk berobat dan mengambil sebab, dan
bahwasannya yang demikian itu termasuk dari taqdir Allah. Bahkan ia
termasuk menuntut taqdir-Nya jika ia berkeyakinan ia akan sembuh dengan
seizin-Nya. Yaitu seperti menolak rasa lapar dengan makan dan haus
dengan minum.” (Minnatul Mun’im syarh Shahih Muslim, 3: 457)
Sesungguhnya Allah Ta’ala telah
menyediakan obat yang lebih baik dari itu. Semua orang dapat
memperolehnya jika ia yakin dengan sepenuhnya. Inilah yang disebut
dengan “berobat dengan wahyu.” Allah lah yang telah menciptakan
penyakit, maka tentu Dia lebih tahu apa penawar dan obatnya. Oleh karena
ada dua jenis penyakit, maka berikut adalah masing-masing obat yang
ditawarkan syariat, tentu secara ringkas.
Al ‘Allamah Ibnu Qayyimil Jauziyyah rahimahullah
berkata, “Siapa yang tidak dapat disembuhkan oleh Al Quran, berarti
Allah tidak memberikan kesembuhan kepadanya. Dan siapa yang tidak
dicukupkan oleh Al Quran, Allah tidak akan memberikan kecukupan
kepadanya.” (Zaadul Ma’ad fi Hady Khairil ‘Ibad)
Pertama,
obat hati. Sebagaimana yang telah diterangkan di atas bahwa penyakit
hati haruslah lebih utama untuk diperhatikan dan ditangani secara serius
karena jika tidak ia akan berakibat kebinasaan abadi, di dunia maupun
di akhirat. Maka obat untuk penyakit yang satu ini hanya didapat di
dalam Al Quran Al Karim dan hadits-hadits yang sah dari Nabi ﷺ.
Allah Ta’ala berfirman,
وَ نُنَزِّلُ مِنَ القُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَ رَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ
“Dan Kami turunkan dari Al Quran (sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang beriman.” (QS Al Isra’: 82)
Juga firman-Nya, “Katakanlah, Al Quran adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin.” [QS Fushshilat: 44]
Imam Abul Fida’ Ibnu Katsir
rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat شِفَاءٌ وَ رَحْمَةٌ
لِلْمُؤْمِنِيْنَ, “Artinya menghilangkan apa yang ada di dalam hati dari
penyakit-penyakit berupa keraguan, kemunafikan, kesyirikan,
keberpalingan, dan kecondongan (kepada kebatilan). Maka Al Quran dapat
menyembuhkan dari semua (penyakit) itu.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 9: 70)
Syaikh ‘Abdurrahman As Sa’di
rahimahullah berkata, “Obat penawar yang dikandung Al Quran itu umum
untuk penawar hati berupa syubhat, kebodohan, pemikiran rusak,
penyelewengan yang rusak, dan tujuan-tujuan buruk.” (Taisirul
Karimirrahman)
Kesembuhan hati dari
penyakit-penyakit ini ditandai dengan hilangnya penyelewengan dan
kerusakan yang ditimbulkan penyakit tersebut. Dan Al Quran yang Allah
turunkan ini dapat menghilangkan kebodohan, keraguan, kesesatan,
pemikiran nyeleneh, dan penyakit-penyakit non fisik (abstrak) lainnya.
Maka siapa saja yang memiliki uneg-uneg buruk dalam dirinya, akan segera
dapat ia hilangkan manakala ia mengambil obatnya dalam Al Quran dan
juga sunnah. “Yang demikian
itu tidak untuk setiap orang, namun hanya untuk orang-orang beriman
kepadanya, membenarkan ayat-ayatnya, dan yang mengamalkannya.” (Taisirul
Karimirrahman)
Adapun syahwat, maka janji
(targhib) dan ancaman (tarhib) di dalam Al Quran dan As Sunnah adalah
obatnya. Apabila ada seseorang yang hendak condong kepada dunia,
hendaknya ia memikirkan kehidupan yang lebih baik di akhirat kelak.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda,
مَنْ تَرَكَ شَيْئًا لِلهِ عَوَّضَهُ اللهُ خَيْرًا مِنْهُ
“Siapa yang meninggalkan sesuatu (yang haram) karena Allah, Allah akan menggantikannya dengan yang lebih baik darinya.” (HR. Abu Nu’aim dalam Al Hilyah dan Ibnu ‘Asakir dalam kitab tarikhnya dengan lafazh “ما ترك عبد شيئا لله لا يتركه إلا له، إلا عوضه الله منه ما هو خير له في دينه ودنياه”. Dalam musnad Imam Ahmad dengan lafazh “إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ”)
Rasulullah ﷺ sendiri apabila ditakjubkan oleh kesenangan dunia, segera berdoa,
لَبَّيْكَ، إِنَّ الْعَيْشَ عَيْشُ الْأخِرَةِ
“Aku memenuhi panggilan-Mu ya Allah, sesungguhnya kehidupan (hakiki) adalah kehidupan di akhirat.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)
Tentu hadits
ini tidak cukup hanya dibaca, namun juga harus dicontoh dan
dipraktekkan. Jika Rasulullah yang jelas-jelas dijamin masuk surga saja
masih khawatir terjerumus ke dalam kenikmatan semu dan menghibur diri
dengan kenikmatan akhirat, bagaimana pula dengan kita yang belum ada
yang menjaminnya, tentu lebih ditekankan lagi.
Kedua,
yaitu obat penyakit kongkrit (hissi). Untuk obat penyakit yang
menyerang fisik, syariat telah menyediakan dua cara pengobatan yang
boleh digabungkan sekaligus, yaitu pengobatan yang bersifat abstrak
ruhani dan pengobatan dengan materi-materi tertentu.
Pengobatan pertama adalah dengan
membacakan Al Quran dan doa yang ma’tsur kepada si sakit atau yang lebih
dikenal dengan ruqyah. Yang dimaksud ruqyah di sini tidak hanya sebatas
ruqyah untuk orang yang terkena sihir dan guna-guna, akan tetapi untuk
setiap penyakit. Pengobatan macam ini boleh jadi lebih manjur dan cepat
reaksinya.
Ketika Rasulullah ﷺ mendapati
‘Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu saat perang Khaibar dalam keadaan
sakit matanya, beliau pun meludahi kedua mata ‘Ali dan mendoakan
kesembuhan untuknya, maka seketika itu pula sembuh seakan-akan tidak ada
sakit sebelumnya. [HR Al Bukhari]
Hal yang sama juga dialami oleh
sekelompok shahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in yang ada salah satu di
antara mereka yang meruqyah dengan membacakan surat Al Fatihah kepada
penghulu suatu kampung yang tersengat kala jengking, setelah dibacakan
surat Al Fatihah, seketika itu juga sembuh. Berita itu pun akhirnya
diceritakan kepada Rasulullah ﷺ, lalu beliau berkomentar, “Apa yang membuatmu tahu bahwa Al Fatihah adalah ruqyah?” (HR. Bukhari)
Yang menarik di sini adalah
pengalaman dan pengakuan Ibnul Qayyim dalam kedua bukunya, Zadul Ma’ad
(4: 178) dan Ad Da’ wad Dawa’ (hal. 23), “Suatu ketika aku pernah jatuh
sakit namun aku tidak menemui dokter atau obat penyembuh. Lantas aku
berusaha mengobati diriku dengan surat Al Fatihah, aku pun melihat
pengaruh yang sangat menakjubkan. Aku mengambil segelas air zamzam dan
membacakannya surat Al Fatihah berulang kali, lalu aku meminumnya
sehingga aku mendapatkan kesembuhan total. Selanjutnya aku bersandar
dengan cara seperti itu dalam mengobati berbagai penyakit dan aku
mendapatkan manfaat besar. Kemudian aku beritahukan orang banyak yang
mengeluhkan suatu penyakit dan banyak dari mereka yang sembuh dengan
cepat.”
Contoh meruqyah dengan dzikir yang diajarkan Rasulullah ﷺ:
بِسْمِ اللهِ تُرْبَةُ أَرْضِنَا، بِرِيْقَةِ بَعْضِنَا، يُشْفَى سَقِيْمُنَا بِإِذْنِ رَبِّنَا
“Dengan menyebut asma Allah, tanah bumi ini dengan air ludah sebagian di antara kami dapat menyembuhkan penyakit di antara kami dengan seizing Robb kami.” (HR. Bukhari). Doa tersebut dibaca Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam jika ada seseorang yang mengeluhkan sakit atau luka pada tubuhnya, beliau pun mengisyaratkan jarinya ke tanah, sebagaimana keterangan Sufyan, kemudian beliau mengangkatnya kembali lalu diusapkan ke tempat yang sakit.
Pengobatan kedua dengan
memanfaatkan berbagai materi tertentu yang disebutkan oleh syariat. Di
antaranya adalah berobat dengan jinten hitam atau habbatu sauda’.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya di dalam habbatu sauda’ terdapat obat untuk semua penyakit kecuali kematian.” (HR. Bukhari dan Muslim). Begitu juga dengan madu, sebagaimana firman Allah Jalla wa ‘Ala, “Dari
perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di
dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.” (QS. An Nahl: 69)
Selain itu, ada pula pengobatan dengan cara mengeluarkan darah kotor dengan alat tertentu semacam tanduk atau alat yang modern lagi yang biasa dikenal dengan bekam (hijamah). Rasulullah ﷺ pernah bersabda, “Sesungguhnya sebaik-baik apa yang kalian perbuat untuk mengobati penyakit adalah dengan berbekam.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan lainnya)
Dan masih banyak lagi obat-obat
yang datang dari syariat yang tentu tidak diragukan lagi kebenaran dan
khasiatnya. Untuk lebih luas pengetahuan tentang pengobatan macam ini,
Ibnul Qayyim rahimahullah telah mengumpulkan
pengobatan-pengobatan ini dalam satu kitab yang bertajuk Ath Thibb An
Nabawi yang berarti pengobatan ala Nabi, buku ini adalah bagian dari
kitab Zaadul Ma’ad karya beliau (ed). Allahu a’lam.
Semoga shalawat beserta salam tetap tercurah kepada Muhammad, keluarga, shahabat, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
No comments:
Post a Comment