Janji menjadi menu pergaulan kita sesama manusia dalam kehidupan
sehari-hari. Dan, janji termasuk tipe pekerjaan ringan. Mudah sekali diucapkan.
Makanya, sebab ringan berjanji, orang-orang pun jadi ringan pula berjanji.
Walaupun ringan diucapkan, bukan berarti setiap janji tidak memiliki
konsekuensi. Tabiat janji mesti dipenuhi dan ditepati.
Janji Haruskah Ditepati?
Lantas, bagaimana pandangan Islam
mengenai janji. Di dalam Al-Quran Allah SWT memerintahkan setiap muslim
agar menunaikan janji yang pernah diucapkannya. “Dan, tepatilah perjanjian
dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah
itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu.
Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. An-Nahl: 91).
Seruan menepati janji pada ayat tersebut bersifat wajib. Dengan kata lain,
orang yang tidak menepati janji tanpa disertai oleh alasan-alasan yang
dibolehkan syariat akan mendapatkan dosa. Bahkan, dua dosa.
Pertama, dosa terhadap orang yang telah kita berikan sebuah janji yang tidak
ditepati. Hatinya akan terluka. Kedua, dosa kita kepada Allah yang menjadi
saksi penjanjian antara kita dan orang lain.
Orang beriman selalu menepati janji. Karena begitu kharakter seorang muslim
yang Allah paparkan di dalam Al-Quran. “Beruntunglah orang-orang beriman,
yaitu … orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya.” (QS.
Al-Mu`minûn: 1-6). Sebaliknya, mengingkari janji adalah sifat syaitan. “Padahal
syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.”
(QS. An-Nisâ: 120). Bahkan, di dalam hadits shahih riwayat Imam Al-Bukhari dari
Abdullah bin Amru, Rasulullah SAW bersabda: “Empat hal yang ada dalam diri
orang munafik … apabila ia berjanji, maka ia ingkari“.
Janji yang Dosa Ditepati
Janji memang harus ditepati. Sudah jelas. Tapi bagaimana, isi janji yang
kontradiktif dengan perintah Allah. Apakah janji itu tetap dipenuhi, atau janji
itu tidak perlu ditepati? Masalah kontradiktif yang dimaksud adalah bahwa Allah
SWT mewajibkan memelihara persaudaraan dan melarang memutuskan tali
silaturahmi. Apabila seseorang berjanji tidak menjalin silaturahmi, misalkan ia
mengatakan saya tidak akan mengirim SMS lagi ke saudaranya; dia tidak akan
pernah lagi saya ajak bicara, dsb., sebagai bentuk keinginan memutuskan
persaudaraan. Padahal Allah SWT memerintahkan menjalin persaudaraan.
Di dalam sebuah hadits shahih riwayat Imam Al-Bukhari, dari Abu Ayyub
Al-Anshâri ra. berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak boleh seorang muslim
menjauhi saudaranya sesama muslim lebih dari tiga hari“. Hadits ini memberi
tenggat waktu dua orang muslim yang saling berseteru, untuk tidak memperlama
perselisihan. Bila keduanya tetap bersikeras melanggengkan permusuhan,
kedua-duanya sama-sama memperoleh dosa. Tapi, bila salah seorang telah
mendahului menyambung kembali silaturahmi yang terputus, sementara yang lain
bersikukuh tidak bersedia menerima uluran silaturahmi itu, maka orang yang
berdosa adalah orang yang menolak mengikat persaudaraan. Oleh karena, setiap
muslim wajib memelihara persaudaraan.
Janji untuk tidak menyapa kepada saudara adalah bentuk janji yang bisa
mengakibatkan pemutusan persaudaraan. Perbuatan ini terkategori sebagai
perbuaan dosa. Allah SWT tidak pernah menyuruh hamba-Nya untuk melakukan
perbuatan dosa. “Sesungguhnya Allah tidak pernah menyuruh melakukan
perbuatan dosa“. (QS. Al-A`raf: 28). Allah SWT memerintahkan manusia
melakukan kebajikan dan memperbanyak perbuatan baik. Oleh sebab itulah,
seseorang yang berjanji tidak menghubungi saudaranya, baik melalui SMS, atau
cara yang lain, adalah janji yang tidak dibenarkan. Dengan sendirinya, janji
itu gugur. Dan, tidak perlu dipenuhi. Bahkan, bila memaksakan diri untuk
memenuhi perbuatan buruk itu, orang tersebut telah termasuk orang yang
memutuskan silaturahmi. Wallâhu a`lam.
No comments:
Post a Comment