Agama Islam mewajibkan orang
menghormati dan menepati janji dan aqad yang ia berikan kepada orang lain.
Karena penetapan janji adalah suatu sifat yang baik yang sangat berpengaruh
dalam mewujudkan pergaulan yang rukun, dan menghindarkan perselisihan serta
menjaga kelestarian hubungan yang kekal dan harmonis.
Ada sebuah pepatah dalam bahasa Arab
yang artinya: “Barangsiapa bergaul dengan orang dan tidak berlaku dzalim, tidak
berdusta dalam omongannya, tidak mengingkari janjinya, maka ia adalah orang
yang sempurna akhlaknya, nyata keadilannya dan patut dikawani”.
Sangat tepatlah isi pepatah itu,
karena pergaulan yang baik antara sesama manusia yang dijiwai dengan kejujuran,
keikhlasan dan keadilan adalah tanda kesempurnaan akhlak dan menjamin
kelangsungan persaudaraan dan eratnya hubungan.
Demikianlah maka Allah memerintahkan
penepatan janji yang dibikin oleh orang terhadap Allah maupun terhadap sesama
manusia, sebagaimana firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah aqad-aqad itu.” (Al-Maidah 1).
Yang dimaksud dengan aqad-aqad itu
ialah mencakup janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat
oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. Dan tiap pelanggaran dan ingkaran
terhadap janji-janji dan aqad-aqad yang sudah dibuat adalah suatu dosa yang
membawa murka Allah swt:
“Wahai orang-orang yang beriman,
kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar
kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu
kerjakan.” (Ash-Shaff 2-3).
Segala janji yang orang telah
berikan kepada orang dan segala aqad yang orang telah mengikatkan kepada
dirinya, ia harus penuhi dan akan dimintai pertanggungan jawabnya.
“Dan penuhilah janji; Sesungguhnya
janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (Al-Israa’ 34).
Kewajiban memenuhi aqad (perjanjian)
adalah harus didahulukan dari pada kewajiban menolong sesama saudara seagama.
Firman Allah swt: .
“Dan (terhadap) orang-orang yang
beriman, tetapi belum berhijrah, Maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu
melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi) jika mereka meminta
pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, Maka kamu wajib memberikan
pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada Perjanjian antara kamu dengan
mereka.” (Al-Anfaal 72).
Penepatan dan penghormatan janji
adalah sebahagian dari iman, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
إنّ
حسن العهد ن الإيمان.
“Sesungguhnya penepatan janji yang
baik adalah bahagian dari iman”. Pahala yang disediakan bagi orang-orang yang
menepati janji adalah serupa dengan pahala yang disediakan bagi orang-orang
yang rajin melakukan shalat, yaitu syurga firdaus. Berfirmanlah Allah swt:
“Dan orang-orang yang memelihara
amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memelihara
sembahyangnya. Mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan
mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya.” (Al-Mu’minuun 8-11).
Memelihara dan menepati janji adalah
salah satu dari sifat-sifat dan perilaku para nabi dan rasul, sebagaimana
firman Allah tentang Nabi Ismail:
“Dan Ceritakanlah (hai Muhammad
kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia
adalah seorang yang benar janjinya, dan Dia adalah seorang Rasul dan Nabi.”
(Maryam 54).
Rasulullah saw. adalah suatu teladan
yang patut ditiru dalam hal penepatan janji. Bercerita Abdullah bin Abil Hamsa:
“Suatu waktu sebelum Rasulullah saw. diutus sebagai Nabi, aku beli sesuatu dari
padanya dengan janji sebahagian dari harganya akan ku antarkannya, namun aku
terlupa dan tiga hari lewat untuk menyerahkan sisa uangnya, aku dapat beliau
sudah menunggu di tempat. Berkatalah beliau setelah melihatku datang: Hai
kawan, engkau telah menyusahkan aku yang tiga hari berturut-turut datang kemari
sesuai dengan janji”.
Sesudah berhijrah ke Madinah,
Rasulullah mengikat janji dengan orang-orang Yahudi menjamin kebebasan mereka
beragama dan keamananharta milik mereka dengan imbalan bahwa mereka tidak akan
memberi bantuan kepada pihak musyrikin. Perjanjian mana oleh Rasulullah
dipelihara, namun oleh orang-orang Yahudi telah dilanggarnya dua kali, sehingga
turunlah firman Allah swt:
“Sesungguhnya binatang (makhluk)
yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang kafir, karena mereka itu
tidak beriman. (yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil Perjanjian dari
mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada Setiap kalinya, dan
mereka tidak takut (akibat-akibatnya).” (Al-Anfaal 55-56).
Seorang bernama Tsa’labah berjanji
kepada Tuhan (bernadzar) bila Allah meluaskan rezkinya akan memberi sedekah
kepada setiap orang yang berhak menerimanya. Akan tetapi setelah Allah
melapangkan rezkinya dan melebarkan kekayaannya, ia merasa sayang kepada
hartanya untuk dinafkakan menurut janjinya kepada Allah, maka turunlah firman
Allah yang mencela pengingkaran janji itu sebagai berikut:
“Dan diantara mereka ada orang yang
telah berikrar kepada Allah: "Sesungguhnya jika Allah memberikan
sebahagian karunia-Nya kepada Kami, pastilah Kami akan bersedekah dan pastilah
Kami Termasuk orang-orang yang saleh. Maka setelah Allah memberikan kepada
mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan
berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi
(kebenaran). Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada
waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa
yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta.”
(At-Taubah 75-77).
Tatkala Abdullah bin Umar ra
mendekati ajalnya, berwasiatlah kepada orang-orang yang mengelilinginya:
“Sesungguhnya ada seorang pria dari suku Quraisy telah datang meminang anakku
dan aku telah berjanji menerimanya. Maka aku minta kesaksianmu bahwa aku telah
kawinkan anakku padanya, karena demi Allah aku tidak ingin menghadap Allah
dengan sepertiga kemunafikan”. Dia bermaksud dengan kata sepertiga kemunafikan
hadits Rasulullah saw. yang artinya: “Tanda orang munafik adalah tiga; jika
bicara berdusta, jika berjanji ingkar dan jika menerima amanat
berkhianat”.
Di bawah ini adalah firman Allah
yang mencela orang-orang yang telah mengadakan perjanjian dengan Nabi, tetapi
setelah melihat musuh berjumlah banyak dan lebih berpengalaman, timbullah
keinginan dalam hati mereka untuk membatalakan perjanjian yang telah mereka
adalah dengan Nabi:
“Dan tepatilah Perjanjian dengan
Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu)
itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu
(terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat. Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan
benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu
menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan
adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain.
Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. dan Sesungguhnya di hari
kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.”
(An-Nahl 91-92).
No comments:
Post a Comment